Sabtu, 18 Agustus 2012

Tanda-tanda Khauf yang sebenarnya


Ada 4 tanda yang menunjukkan benarnya rasa khauf yang tertanam dalam lubuk hati seseorang, yaitu:

Pertama, adanya kesesuaian antara lahir dan batin

Artinya, perbuatan dan hati seseorang tidak saling bertentangan, amal lahiriyahnya tidak lebih baik dari pada batiniyahnya. Dalam Sunan Tirmidzi diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah swt. berfirman dalam hadits Qudsiy, ‘Kelak akan ada kaum yang memperlihatkan kepada manusia, kekhusyukan dan ketenangan mereka. Meraka memakai kulit kambing sebagai tanda rendah hati. Mulut mereka lebih manis daripada madu, namun hati mereka jauh lebih pahit daripada empedu. Demi diri-Ku, aku pasti akan menurunkan fitnah-Ku kepada mereka yang akan membuat mereka kebingunan. Akankah mereka berusaha menipuku, ataukah mereka mencoba melawan kehendak-Ku?’”

Kami berlindung kepada Allah swt. dari lahir yang baik dan bathin yang busuk.

Kedua, jujur kepada Allah swt. dalam ucapan dan sikapnya

Dan kejujuran di sini tidak terbatas pada kejujuran hati saja. Para ulama berkata, “Ada 3 tingkatan kejujuran, yaitu kejujuran dalam bersikap, kejujuran dalam perbuatan dan kejujuran dalam ucapan.”

Allah swt. berfirman, “Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang mereka kerjakan.” (Hud [11]: 15-16)

Ketiga, menyesali kejelekan dan bergembira atas amal baik yang telah diperbuat

Kepada para tentaranya, Umar r.a. berkata, “Wahai para manusia, barangsiapa bergembira dengan kebaikan dan menyesali kejelekannya, maka ketahuilah, bahwa engkaulah seorang mukmin sejati jika engkau menyesal dan bersedih atas kejelekan yang telah engkau perbuat kepada Allah.”

Allah swt. berfirman, “Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu mohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal." {Ali-Imran [3]: 135-136)

Keempat, hendaknya hari ini lebih baik dari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini

Barangsiapa selalu meningkatkan amal baiknya seperti ini, maka itu adalah salah satu tanda kejujuran, kebenaran dan khauf yang sejati. Sebaliknya, jika hari kemarin lebih baik daripada hari ini, dan hari ini lebih baik daripada hari esok, maka ia bagai orang yang tertatih dan hatinya telah ternodai kedustaan.

Maka, kita harus meluruskan hati kita kepada Allah swt. dengan sebenar-benarnya khauf. Ibnu Taimiyyah berkata, “Batasan khauf adalah apa saja yang menghalangimu dari perbuatan dosa, dan engkau tidak butuh yang lebih daripada itu.” Sebagian ulama mengatakan,”Khauf kepada Allah swt. adalah ketika engkau duduk sendirian, maka engkau membayangkan seakan Allah swt. menampakkan diri-Nya kepada manusia dari atas ‘arsy-Nya.”

Sementara itu, seorang shalih berkata, “Khauf adalah ketika engkau mampu membayangkan bahwa engkau sedang terpanggang dalam api neraka, atau ketika engkau merasa tidak mampu lagi berucap sesuatu, termasuk kalimat la ilaha illallah.”

Allah swt. berfirman, “Dan ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua, dan tidak diterima dari yang lain.” (Al-Maidah [5]: 27)

Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad saw. keluarga dan sahabatnya.

Jumat, 17 Agustus 2012

Beberapa faktor yang menyebabkan hilangnya khauf


Sebagaimana yang diungkapkan para ulama, ada 4 hal yang menyebabkan seseorang tidak bisa merasakan khauf kepada Allah swt.

Pertama, lupa.

Ketika sifat ini  sudah tertanam dalam hati seseorang, maka ia tidak akan mampu lagi berbuat dengan benar. Ia tidak akan mampu merasakan arti dzikir dan tidak akan memahaminya. Allah swt. telah menyebutkan dalam firman-Nya, bahwa sebagian manusia mempunyai hati yang tidak bisa memahami, telinga yang tidak bisa mendengar, dan mata yang tidak bisa melihat.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (Qâf [50]: 37)

Semua manusia dikarunia hati. Diantara mereka memiliki hati yang hidup dengan berdzikir kepada Allah swt., sedang sebagian yang lain memiliki hati yang mati, gelap dan terkunci. Sebagaimana firman-Nya, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad [47]: 24)

Jika lupa kepada Allah swt. telah mengakar dalam hati seseorang, maka hati tersebut tidak akan mampu lagi mengingat janji dan berdzikir kepada-Nya. Tiada arti sama sekali ketika engkau berusaha menasihatinya, karena hati yang jauh dari Allah swt. tidak mau mendengar nasihat dan memahaminya. Hati tersebut telah tertutup, terkunci dan terjauhkan dari kebenaran tanpa ada kemungkinan sembuh.

Kedua, maksiat.

Hal yang paling kuat menghalangi seseorang dari cahaya petunjuk Allah swt. adalah kemaksiatan. Allah swt. berfirman, “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya Allah, maka tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.” (An-Nûr [24]: 40)

Ketika maksiat telah mendarah daging dalam hati seseorang, maka hati akan menjadi keras dan berkarat. Hati akan menjadi sempit, dan tertutup dari hidayah Allah swt.. Tertutupnya hati dari hidayah Allah swt. inilah yang pada akhirnya akan mengantarkan seseorang menuju pintu kekufuran. Hati yang berkarat akan menyebabkan seseorang menjadi hamba yang fasik. Sementara kejenihan hati akan mengantarkan seseorang kepada keimanan.

Dalam kitab shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Wahai para manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah dan mintalah ampunan kepada-Nya. Karena sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah lebih dari seratus kali dalam sehari.”

Dalam hadits lain yang diriwayatkan Al-Aghra al Muzani, Rasulullah juga bersabda, “Wahai para manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah dan mintalah ampunan kepada-Nya, karena sesungguhnya hatiku akan menjadi keras ketika aku tidak meminta ampunan kepada-Nya seratus kali dalam sehari.”

Tentang kerasnya hati, Allah swt. berfirman, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthaffifîn [83]: 14). Yaitu, bertumpuknya dosa yang ada dalam hati orang fasik dan kafir.

Ketiga, terlalu berlebihan dalam melakukan hal yang mudah

Perbuatan seperti inilah yang seringkali kita lakukan, seperti membanggakan dunia, memperbanyak harta, dan menomorsatukan dunia dan menduakan akhirat serta kebahagian di sisi Allah swt.

Keempat, menyia-nyiakan waktu

Bentuk perhitungan amal seorang hamba pada hari kiamat yang sangat membebaninya adalah pertanggungjawaban tentang waktunya yang disia-siakan. Kebanyakan umat Islam tidak memanfaatkan waktu dengan baik, bahkan tidak jarang dari mereka terlalu mementingkan dinar dan dirham, sehingga siang malamnya berlalu sia-sia tanpa ibadah yang bermanfaat baginya di akhirat.

Allah swt. berfirman, “Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?. Maka Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenarnya, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Tuhan `Arsy yang mulia.” (Al-Mu’minûn [23]: 115-116).

Dalam shahih Bukhari, diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu olehnya; kesehatan dan waktu senggang.” Ketika Ibnu Taimiyyah ditanya tentang obat penyakit syubhat dan hawa nafsu, beliau menjawab, “Hal yang paling mungkin menyembuhkan penyakit tersebut adalah menyempurnakan kewajibanmu, secara lahir dan batin.”

Allah swt. berfirman, “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku akan ingat kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.” (Al-Baqarah [2]: 152).

Aku menasihatimu dan diriku sendiri agar dapat senantiasa mengisi waktu dengan berdzikir kepada Allah swt..

Kamis, 16 Agustus 2012

Faktor yang menghadirkan Khauf

Ada 4 faktor yang bisa menghadirkan rasa khauf dalam hati orang-orang yang beriman. Jika mereka mau memikirkannya, maka  keempat faktor tersebut akan membuat hati mereka tenang dan ingat akan janji dan pertemuan dengan Allah swt....

Pertama ziarah kubur, disanalah cucu, anak, orang tua, dan kakek kita dikuburkan. Di sanalah kekasih dan teman-teman kita tinggal. Karenanya, Rasulullah saw. bersabda, "Berziarahlah kalian ke kubur karena sesungguhnya kubur akan mengingatkan kalian akan kematian". Dalam riwayat Ibnu Majah redaksi hadits itu sebagaimana berikut, "Karena sesungguhnya kubur itu akan mengingatkan kalian kepada akhirat."

Rasulullah saw. berkata ketika sedang berziarah kubur, "Keselamatan atas kalian wahai perkampungan kaum mukmin. Kami insyaallah akan menyusul kalian. Semoga Allah mengasihi orang yang telah dahulu dan yang akan datang dari kalian dan kami semua."

Karena itu, seringkali kita mendapati orang-orang shalih berziarah ke kubur. Mutharrif bin Abdullah Asy-Syakhir, salah seorang yang shalih dan mulia, dalam otobiografinya menuliskan, "Dari pedalaman kota Bashrah, aku datang ke pusat kota untuk shalat jum'at berjamaah di masjid jami' Bashrah. Aku datang semalam sebelum shalat jum'at. Setiap malamnya, aku mengunjungi sebuah makam, mengucap salam kepada mereka dan mendoakan penghuninya. Kecuali pada satu malam ketika turun hujan dan suhu udara sangat dingin. Aku segera pulang ke rumahku tanpa berlama-lama berdiri di makam tersebut, tanpa salam maupun doa. Kemudian pada malam itu di dalam tidurku, aku bermimpi bertemu dengan lelaki penghuni makam tersebut. Ia berkata kepadaku, "Wahai Mutharrif, pada malam ini sungguh engkau telah menghalangi kami dari doamu. Demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya. Sesungguhnya Allah menerangi kubur kami selama seminggu penuh berkat doamu."

Kedua, selalu mengingat kematian setiap pagi, sore dan ketika hendak tidur

Fatimah binti Abdul Malik, istri Umar bin Abdul Aziz r.a. menceritakan, "Setiap kali Umar hendak memejamkan mata, beliau terlihat gugup dan gusar bagai burung kedinginan. Aku bertanya, "Suamiku, mengapa engkau tidak bisa tidur?" Beliau menjawab, "Bagaimana aku bisa tidur, sementara tempat tidur ini selalu mengingatkanku akan kubur?"

Dalam salah satu riwayat yang bersumber dari Sufyan Ats-Tsauri, Adz-Dzahabi bercerita, pada suatu saat Sufyan sedang membaca ayat, "Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk kubur" (At-Takatsur [102]: 1-2)

Mulai dari shalat isya' sampai datangnya waktu subuh. Ketika beliau hendak tidur, beliau berkata, "Bagaimana aku akan tidur, sementara kubur seakan di depanku?"

Ketiga, selalu mengingat bahwa siksa Allah swt. sangatlah pedih

Dan ketika Allah swt. memegang seorang hamba, maka ia tidak akan bisa melepaskan diri. Selalu ingat bahwa jika Allah swt. menyiksa para pendosa, maka Dia akan menyiksa mereka dengan siksa yang teramat pedih dan memilukan.

Umar bin Khathab r.a. menulis sebuah surat edaran kepada para pegawainya yang berisi, "Ketahuilah bahwa Allah adalah Dzat yang Mahapedih siksa-Nya. Apa kalian lupa?" Umar bin Abdul Aziz r.a. berkata kepada 'Ady bin Artha'ah, "Mahasuci Allah, siapa yang membuatmu berbuat zalim dan semena-mena seperti ini? Tidakkah engkau mengingat akan siksa Allah yang sangat pedih."

Jika takut kepada Allah swt. dan selalu mengingat siksa-Nya adalah faktor ketiga yang bisa mewujudkan rasa khauf dalam hati seseorang.

Keempat, selalu merasa diawasi Allah swt..

Ibnu Taimiyyah berkata, "Hati adalah rumah Allah swt.. Dan hati tidak akan mungkin baik, atau jujur atau tetap hidup bersama Allah swt., kecuali jika ia merasa bahwa Allah swt. senantiasa mengawasinya."

Imam Ahmad bin Hanbal misalnya, ketika beliau duduk bersila sendirian di dalam rumahnya, beliau akan terlihat sangat khusyu' dan tenang. Orang-orang kemudian bertanya, "Mengapa ketika engkau duduk bersama orang lain, engkau tidak khusyu' dan tenang, sementara ketika engkau duduk sendirian engkau terlihat khusyu'?" Beliau menjawab, "Aku adalah teman duduk orang yang mengingat-Ku.' Jadi, bagaimana aku akan berbuat tidak sopan di depan-Nya?"

Faktor yang keempat ini adalah faktor yang paling cepat dalam mengatar seseorang ke tingkat khauf kepada Tuhannya. Seseorang harus selalu mengingat bahwa mata dan pengawasan Allah swt. selalu bersamanya, "Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sungguh Ia melihatmu."

Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad saw. keluarga dan sahabatnya.

Jumat, 10 Agustus 2012

i'tikaf dan lailatul qadr

kultwit by Felix Siauw


I’tikaf berasal dari kata 'akafa yang artinya menahan di dalamnya atau menetapi sesuatu. Makna syariat i’tikaf adalah berdiam diri dalam masjid sejenak dalam kondisi yang dikhususkan, niat mendekatkan diri pada Allah. I’tikaf bisa dilakukan di sepanjang waktu dalam satu tahun, tidak dibatasi kapan, hanya pada bulan ramadhan, lebih diutamakan. Tidak ada perbedaan ulama, bahwa i’tikaf hukumnya sunnah muakkad (sunnah yang kuat), terutama pada 10 hari terakhir ramadhan. Dari Aisyah ra, 

"bahwa Nabi biasa i’tikaf pada 10 hari terakhir ramadhan, hingga Allah Swt. Mewafatkannya" (HR Bukhari Muslim). 

Mayoritas ulama fiqh juga menyampaikan bahwa setiap Masjid layak dilakukan i’tikaf didalamnya, lebih utama bila ia Masjid Jami'. 

"Janganlah kamu campuri mereka itu (isteri-isterimu), sedang kamu i’tikaf dalam masjid" (QS 2: 187), itulah dalil i’tikaf di masjid. 

Memulai i’tikaf bisa kapanpun, Rasul biasa memulai saat shalat shubuh, namun itu tidak menjadi batasan, boleh pagi, siang, sore, malam. Tentang jangka waktu i’tikaf, pendapat paling kuat adalah yang mengatakan bahwa i’tikaf minimal dengan waktu yang bisa disebut berdiam diri. Jadi, walau hanya dari maghrib - isya kita menanti di Masjid dan berdiam diri disana, itupun sudah termasuk i’tikaf bagi kita. Saat i’tikaf, boleh untuk keluar Masjid untuk keperluan syar'I,  misal: mandi, buang air kecil, buang air besar dan semisalnya. Membawa kasur untuk tidur di Masjid saat i’tikaf juga dibolehkan, mengunjungi istri di Masjid dan berduaan dengannya pun boleh. dari Aisyah, 

"Nabi saw menjulurkan kepalanya padaku saat i’tikaf di Masjid, aku menyisirnya padahal aku sedang haid" (HR Bukhari). 

Artinya Rasul menjulurkan kepalanya keluar Masjid dan Aisyah menyisirnya (sedang badannya tetap di Masjid), i’tikaf sah saja begitu. Bagi Masjid yang tidak menyediakan makanan berbuka ataupun sahur, boleh pula istrinya mengantarkannya ketika sedang i’tikaf. Yang membatalkan i’tikaf adalah: 

1. Jima' (bersetubuh) dengan istri 
2. Keluar dari Masjid tanpa ada keperluan yang syar'i. 

Saat i’tikaf lakukan amal-amal salih sebanyaknya, seperti mengkaji Al-Qur'an dan Al-Hadits, berdzikir, berdoa, bershalawat dan semisalnya. Pada malam harinya perbanyak qiyamullail dengan shalat malam dan tadarus Al-Qur'an. Hidupkan malam-malam i’tikaf dengan ibadah, apalagi di dalam Ramadhan ada malam yang lebih baik dari 1000 bulan (lailatul qadr).

Bagi yang menghidupkan malam dengan ibadah,  "diperlihatkan padaku lailatul qadr, lalu aku dilupakan tentangnya, carilah pada malam-malam ganjil 10 hari terakhir" (HR Bukhari Muslim). 

Dari Abu Said ra, Rasul bersabda, "maka carilah (lailatul qadr) pada kesembilan, ketujuh, kelima (hari yang tersisa)... (HR Muslim). 

Dari Ibnu Umar, Rasul bersabda, "barangsiapa yang ingin mencarinya (lailatul qadr), carilah pada 7 hari terakhir" (HR Bukhari Muslim). 

"cari lailatul qadr pada 10 hari terakhir, jika salah seorang dari kalian lemah, jangan dikalahkan pada 7 hari yang tersisa" (HR Muslim). 

Kesimpulannya, dari banyak hadits, kita dapatkan lailatul qadr sangat mungkin terjadi di hari-hari ganjil pada 10 hari terakhir ramadhan. yaitu tanggal 21, 23, 25, 27, 29 Ramadhan. Lebih aman lagi, perbanyak qiyamul lail pada 10 hari terakhir, mesti dapet lailatul qadr. Apa saja yang dilakukan dalam rangka berburu lailatul qadr di 10 hari terakhir? 

Tentu amalan yang menghidupkan malam. Perbanyaklah sedekah 10 hari terakhir ini, perbanyak shalawat dan doa, dzikir dan shalat, juga tadarus Al-Qur'an, jangan lengah lalai. Hidupkan malam dengan tahajjud, shalat jangan sampai terburu-buru, ingat bahwa lailatul qadr juga ditentukan kualitas ibadah. 

Satu waktu Aisyah pun bertanya pada Rasulullah "jika aku menjumpai lailatul qadr apa yang harus aku ucapkan?". Nabi bersabda, "katakan 'Allahumma innaka afuwun, tuhibbul 'afwa fa'fu 'anni" (HR Ahmad). Artinya "Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, yang senang memberikan ampunan, maka ampunilah aku". 

Berikut pula ciri-ciri lailatul qadr yang pernah disampaikan oleh Rasulullah. “(lailatul qadr) adalah malam yang sejuk, tidak panas dan tidak dingin, pada pagi harinya matahari berwarna merah lemah (HR Abu Dawud). 

"ciri lailatul qadr adalah bahwa malam tersebut bersih berseri, seolah ada purnama yang bersinar, terang tenteram, tidak dingin dan juga tidak panas, dan tidak boleh ada bintang dilemparkan di malam itu hingga pagi, bahwa matahari di pagi harinya keluar dan bertahta tanpa cahaya, seperti rembulan di malam purnama" (HR Ahmad). 

Bagi yang memulai puasa Jum'at 20/07, maka semalam adalah tgl 21 ramadhan, yang mulai puasa Sabtu 21/07, maka malam ini adalah tgl 21 ramadhan. Tiada perlu dihitung-hitung, Lailatul qadr akan kita dapatkan bila kita selalu qiyamul lail 10 hari terakhir ini. InsyaAllah,  doakan umat agar segera bangkit, doakan Islam agar kembali memimpin, dan doakan kita termasuk barisan pejuangnya!. Ya Allah, karuniakan kami kekuatan dan keistiqamahan beribadah agar dapatkan lailatul qadr di tahun ini.

Sabtu, 04 Agustus 2012

Kesungguhan dan keikhlasan


Kesungguhan dan keikhlasan adalah dua hal yang menjadi titik tolak satu dari sekian banyak maqam penghambaan kepada Allah swt., dan itupun harus mengaca pada perilaku Rasulullah saw., karena amal yang diterima disisi Allah swt. hanyalah amal yang penuh keikhlasan dan kepatuhan. Dalam beramal, seseorang harus selalu mengedepankan tujuannya yaitu hanya Allah swt. semata, serta menjauhkan dari riya’ dan sum’ah. Hal ini adalah sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan, karena kedua sifat tersebut (riya’ dan sum’ah) dapat menghanguskan pahala, meniadakan balasan dan karunia Allah swt..

Riya’ adalah sebuah penyakit kronis yang masuk ke dalam hati seseorang yang melaksanakan ibadah, masuk ke dalam hati orang alim dengan keilmuannya, masuk ke dalam hati seorang da’i dalam dakwahnya, masuk ke dalam hati seorang dermawan dalam dermanya dan masuk ke dalam hati mujahid dalam jihadnya.
Seseorang tidak dapat menghindarkan diri dari sifat tersebut kecuali dengan tiga cara, yaitu:
  1. Seseorang harus meyakini bahwa hanya ada satu dzat yang bisa mendatangkan manfaat dan mudharat, yaitu Allah swt.. Dia-lah yang bisa memberi rezeki dan menghalanginya dari seseorang. Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan semua makhluk. Dia lah yang menggenggam dan menguasai kendali semua hal.
  2. Ia harus meyakini bahwa dunia akan mengalami kehancuran. Ia juga harus yakin bahwa ia akan bertemu Tuhannya untuk mendapatkan balasan atas semua perbuatan yang sudah ia lakukan. Allah swt. akan menghitung dan mempertimbangkan semuanya. Jika seseorang berbuat baik, maka ia akan mendapatkan balasan yang baik dari-Nya. Namun, jika ia berbuat jelek, maka Allah swt. akan membalasnya dengan siksaan yang sepadan.
  3. Ia harus selalu menghadirkan keagungan Allah swt., berdoa dengan penuh keikhlasan dengan permohonan ampunan, dengan permohonan pahala, dan pembebasan dari neraka. Setiap pagi dan sore hari, ia harus selalu mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari menyekutukan-Mu dengan sepengetahuanku, dan aku mohon pengampunan dari-Mu, jika aku menyekutukanMu dengan tanpa sepengetahuanku.”

Wahai saudaraku yang mulia, hati hanya akan hidup jika kita menghambakan diri kepada Allah swt. dan menyerahkan semua urusan kita kepada-Nya. Maka, kalian harus melaksanakan tingkatan-tingkatan amal di atas dengan seksama dan penuh pengharapan. Semoga Allah swt. memberikan pertolongan-Nya kepada kita semua dalam menapaki tingkatan penghambaan kepada-Nya. Wallahu a’lam.

Semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi kita, Muhammad swa., keluarganya dan sahabatnya.

Jumat, 03 Agustus 2012

Sepenggal kisah Umar

Ibnu Katsir, dalam biografi khalifah Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang sangat zuhud dan masih muda, khalifah yang memegang tampuk pemerintahan ketika usianya belum mencapai empat puluh tahun, khalifah yang dimuliakan Allah swt., dengan anugerah yang ia impikan. Dalam kisah itu, Ibnu Katsir menulis, 

"Umar bin Abdul Aziz sedang melaksanakan shalat 'Id bersama para gubernur dan pejabat dinasti Bani Umayah. Mereka menarik seekor unta untuk ditunggangi Umar. Dengan halus beliau menolak dan berkata, 'Aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanya seorang pria muslim.' Kemudian beliau berlalu. Langkah beliau terhenti ketika sampai pada sebuah kuburan. Lalu beliau berucap, 'Keselamatan, rahmat dan berkah Allah semoga menaungi kalian. Wahai, para penghuni kubur, adakah di antara kalian yang masih mempunyai pipi yang merona dan mata yang tercelak? Mengapa mereka tidak terlihat tertawa bersama orang-orang yang bergembira? Mengapa mereka tidak terlihat bermain bersama mereka yang sedang berbahagia? Mengapa mereka tidak tampak berharap bersama orang-orang itu?' Beliau berucap dengan suara melengking. Wahai kematian, apa yang sedang kamu lakukan dengan saudaraku?"

Ia menjawab sendiri pertanyaannya. Ia berkata, "Engkau dianugerahi Allah dua mata, lengkap dengan dua bola mata di dalamnya. Engkau juga diciptakan-Nya bisa menggerakkan dua telapak tanganmu dari kedua hastamu, kedua hasta dari kedua lengan, kedua telapak kaki dari kedua betis, dan kedua betis dari kedua lutut."

Tiada rumah yang bakal ditempati seseorang setelah kematiannya,
kecuali rumah yang ia bangun (dengan amalnya) sebelum mati 
Jika ia membangunnya dengan kebaikan, ia akan menenpati rumah yang indah
namun jika ia membangunnya dengan kejahatan, ia akan menempati runah yang reyot

Harta yang dulu kita kumpulkan, akan berpindah tangan kepada ahli waris kita,
Dan rumah yang dulu kita bangun akan hancur karena kematian kita
Maka, beramallah untuk hari esok dengan mencari keridhaan Allah sang Pencipta.
Tentu Muhammad akan menjadi tetanggamu, dan Allah yang akan membangunnya (rumah)        untukmu
Istana-istana berlapis emas, bertanah misik dan berumput za'faran yang tumbur subur di sana"

Setiap orang yang ingin beramal, maka ia harus beramal demi mendapatkan kebahagiaan di hari kekekalan, rumah kesucian, rumah kehidupan sejati yang tidak ternodai dengan kesusahan, kesengsaraan, dan kesedihan. Dan barangsiapa menginginkan itu semua, maka tiada jalan lain baginya kecuali dengan mengendarai 'kendaraan' takwa.

"Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa" (Al-Baqarah [2]: 197)